Setelah terjadi pernikahan, maka seorang laki-laki memiliki tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya. Kewajiban tersebut dikenal sebagai nafkah keluarga.
Di mana menurut Jurnal Studi Hukum Islam Universitas Islam Nahdatul Ulama (UNISNU) dikatakan bahwa nafkah merupakan sebuah kewajiban dari seseorang yang timbul sebagai bentuk akibat dari perbuatan yang dilakukannya memiliki tanggung jawab.
Hal ini berarti tanggung jawab yang harus dilakukan ialah dengan terpenuhinya pembayaran sejumlah biaya yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan orang yang berada di dalam tanggungannya. Yang dimaksud orang dalam tanggungan di sini yaitu istri beserta anak-anaknya.
Pada intinya, dalam sebuah keluarga, kewajiban dalam hal pemenuhan nafkah keluarga adalah dibebankan kepada seorang suami. Dalam suatu ikatan pernikahan, suami memiliki peranan sebagai kepala keluarga di mana salah satu tugas dare kepala rumah tangga tersebut yaitu memberikan nafkah untuk menghidupi istri dan anaknya.
Penjelasan Al-Quran tentang Kewajiban Suami Menafkahi Keluarga
Kewajiban seorang suami dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah 233, “ Dan kewajiban ayah atau suami adalah member makan dan pakaian kepada para ibu atau istri dengan cara ma’ruf.
Orang tersebtu tidak dibebani, melainkan halm ini menurut kadar kesanggupannya.” Rasulullah SAW juga menjelaskan dalam sebuah hadist shahih, HR Muslim 2137, “Dan mereka (para istri atau ibu) memiliki hak untuk diberikan rejeki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).”
Ayat Al-Quran serta hadist tersebut di atas menjelaskan dengan tegas bahwa wajib hukumnya bagi seorang suami untuk memberikan nafkah kepada keluarganya untuk menghidupi mereka. Jadi walaupun seorang istri memiliki penghasilan yang besar, suami tetap wajib menjalankan kewajibannya untuk memberikan nafkah untuk anak dan istrinya.
Bagaimana hukum suami tidak memberi nafkah? jika hal ini terjadi maka tindakan suami tersebut adalah diharamkan. Tindakan tersebut merupakan dosa bagi suami dan perbuatan yang sangat tercela.
Lantas, bagaimana seharusnya istri menyikapi hal ini?
Jika seorang suami memiliki hidup yang berkecukupan, tetapi ia tidak mau membagi hartanya kepada istri atau tidak mau menafkahi istrinya, maka hal ini istri diperbolehkan untuk mengambil harta milik suaminya dengan cara sewajarn ya dan mengambil harta tersebut secukupnya meski tanpa izin suaminya.
Sebagaimana Aisyah RA mengatakan, bahwa:” Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir dan dia tidak mau member nafkah yang layak kepad aaku dan anak-anakku, kecuali aku harus mengambilnya saat ia tidak tahu.”
Di samping itu, Rasulullah SAW pun mengatakan, “Ambillah apa yang cukup buat kamu dan anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhori 4945).
Dari penjelasan di atas, maka dapat diartikan dan dibenarkan jika tindakan seorang istri mengambil harta suami yang kikir yang tidak mau membagikan hartanya utnuk menafkahi keluarganya tanpa sepengetahuan suaminya.
Namun pastinya hal tersebut harus dilakukan dengan cara sewajarnya dan diperbolehkan jika mengambil dengan jumlah secukupnya sehingga bisa mencukupi kebutuhan dia dan anak-anaknya.
Sikap selanjutnya yang sebaiknya dilakukan seorang istri ketika suami kikir tidak mau memberikan hartanya untuk nafkah keluarganya adalah dengan cara terus bersabar dan memberikan kesempatan kepada suaminya utnuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Pasalnya, mungkin seorang suami sedang terus melakukan usaha untuk mencari pekerjaan yang bisa menghidupi kebutuhan keluarganya atau mungkin suami sedang mencari pinjaman utnuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran (QS. Al-Baqarah:280): “dan jika (orang yang berhutang) dalam kesukaran, maka berilah ia tangguh sampai dia berkelapangan.”